Kopi dan Diskusi

 Di samping saya, buku "kambing dan hujan" yang baru saja dipinjam oleh teman.

Kami berdiskusi:

Saya bertanya, "apakah karena Indonesia kekurangan partai kiri, sehingga suara-suara rakyat kecil tak didengarkan?"
Saya memberikan opini, "sebab, apakah karena revolusi industri tak terbentuk secara langsung. Maksudnya, ketika suatu perusahaan berdiri di sini, sudah ada pemodal dan mesinnya, satu paket. Bahkan, tak diberikan diskusi dengan buruh. Bahkan, ada borjuis yang langsung mengatakan: Jangan kau merusak mesinku. Tanpa ada diskusi apa hak-hak pekerjanya, apa yang ingin disuarakan, apa yang boleh dieksplorasi. Tak tercipta kaum buruh dan pemodal, karena revolusi indurstrinya tak langsung."
"Sehingga yang duduk-duduk di gedung DPR itu partau-partai kanan yang memiliki paham keuntungan, kapitalis."

Lalu teman saya menjawab (beliau anak pondok), "mungkin memang narasinya bukan tentang borjuis dan proletar. Yang saya tahu dulu pemimpin meminta nasihat pada ulama. Tapi sekarang, mereka (calon pemimpin) datang ke ulama hanya untuk meraih suara."

"Sebab, saya rasa ulama dulu memang hebat. dan yang ada sekarang, seperti bentuk kurva menurun. Maksud saya, di pondok pasti ada disiplin membaca. Apapun itu, aku tidak tahu nama kitab-kitabnya. Tapi sekarang, ada internet dan lainnya, distraksinya banyak. Mungkin karena itu jadi tak lagi dianggap sekritis dulu?" Pertanyaan ini sporadis. Untung teman saya tak memukul.

Beruntungnya teman saya tipe orang yang menguasai emosi dengan baik. Ya, saya mengenalnya, dia tak mungkin emosi dengan seberapa menyebalkannya saya. "Karena itu ulama dideskreditkan integritasnya. Karena politikus cuma mau ambil suara saat datang kepadanya. Coba ulangi pernyataanmu, apa yang menurun?"

"Kurvanya menurun, mungkin tak lagi sehebat dulu."

Cepat ia mengatakan, "itu dari povmu, orang di luar pondok. Coba sekarang dari pov orang pondok?"

Tersenyum malu saya menjawab, "kurva orang di luar pondok juga menurun. Mereka tak lagi mau mendengarkan ulamanya, terbawa narasi yang merendahkan kredibilitas ulamanya, dan ya, mereka datang hanya pada saat butuh saja."

KAMI BERDUA TERTAWA, DAN MENYERUPUT KOPI. Begitulah menit pertama diskusi kita.

Komentar

Postingan Populer