Filsafat dalam Hidup
Filsafat adalah suatu "disiplin" yang tingkat inkusivitasnya tinggi.
Belajar filsafat itu banyak sekali sarananya atau wadahnya. Bisa menemukan buku-buku atau bahkan kelas-kelas online.
Lantas apakah jurusan filsafat perlu dihapuskan? Waduh. Saya bukan orang yang mempunyai kredibelitas untuk menggugat. Haha.
Kita breakdown secara subjektif saja ya.
Sekitar 3 atau 4 tahun lalu saya mulai suka filsafat. Sebenarnya tidak ada tujuannya, hanya sekedar suka baca buku lalu melipir ke buku-buku filsafat dan ternyata suka. Sejak itu saya keterusan mengikuti hiruk-pikuk filsafat.
Beralihlah saya yang sebelumnya sekedar iseng, menjadi ada motif dalam mengikuti filsafat. Pasti teman-teman pernah mendengar kata bahwa "filsafat adalah ibu dari segala ilmu."
Sepertinya kalimat itu juga di dukung bahwa setiap kita mengambil jurusan perkuliahan, pasti ada satu mata kuliah filsafat ilmunya kan? Beberapa teman satu kampus yang beda jurusan atau fakultas yang aku tanya sih gitu.
Saya merasa mengikuti filsafat itu seru. Saya menerapkannya sebagai jembatan ke arah pengetahuan lainnya gitu. Saya suka nulis, jadi jembatan sebelum masuk ke ilmu lainnya itu ya filsafat ini.
Contoh paling terakhir, saya ikut kelas teori evolusi. Nah, sebelum menyelam masuk ke teori evolusi dan segala hal yang berbau sains itu. Saya membaca buku filsafat ilmu fisis atau lain-lainnya yang sejalan dengan sains.
Jadi, bisa dikatakan filsafat semacam orang yang menjadi perantara untuk mengenalkan saya pada ilmu-ilmu lainnya.
Pun, sebenarnya juga utama saya mengikuti filsafat. Saya ingin menerapkannya pada kehidupan sehari-hari, membuat hidup ini tampak ya, menyenangkan.
Sebelumnya, saya orang yang suka mengutuki sesuatu. Meskipun kecil, tapi saya sering meresahkan hal-hal yang ada di luar kendali saya. Saya tidak suka melihat hal yang tak semestinya.
Begini, bukan bermaksud untuk mengajari. Tapi, kehidupan teman atau saudara adalah hal yang paling dekat dan paling mudah menimbulkan konflik dengan kita.
Saya sebelumnya sering sekali bertengkar dengan adik saya. Karena, adik saya tidak menjalankan hal-hal yang semestinya. Semuanya menjadi berubah, ketika saya mulai berjalan dan suka mengikuti filsafat.
Bahwa adik saya melakukan itu tentu ada alasannya. Toh, saya juga pasti melakukan hal yang tak saya sadari menyebalkan baginya.
Maka, filsafatlah yang membuat saya berpikir. Apakah boleh saya menyebut keimanan juga ikut andil?
Saya bukan orang yang sempurna. Begitu pula dengan adik saya. Sebagai manusia, yang bisa kita lakukan adalah mencoba untuk mengerti dan memahami manusia lainnya. Bahwa, mungkin kita bisa berusaha untuk berperilaku adil. Tidak menempatkan ekspetasi yang kita sendiri tidak bisa meraihnya.
"Oh, adik saya melakukan itu. Mungkin karena itu cara yang dia pikir terbaik. Gapapa, dan gak ada salahnya juga." Kalimat itu yang ada dalam kepala saya, yang membuat kami berdua menjadi akur. Atau mungkin juga umur dan pendewasaan?
Yang jelas. Saya mengikuti filsafat karena dalam kehidupan pribadi sehari-hari itu bisa diterapkan kok. Untuk menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya.
Komentar
Posting Komentar