Proses Menulis Skripsi

 Pada video youtubenya Martin Suryajaya mengatakan skripsi itu pertanyaan "apa" lalu menuliskan hasil bacaan serta deskripsinya pada skripsi yang sedang kita tulis.

Perbedaan antara skripsi dengan tesis adalah, skripsi itu menjawab pertanyaan "apa" dengan deskripsi. Sedangkan, tesis itu menjawab "mengapa" dengan agumentatif.

Saya belum pernah mengalami tesis. Hanya pernah menulis skripsi.

Apakah skripsi benar menjawab pertanyaan "apa" seperti pengertian yang diberikan Martin Suryajaya?

---

Setiap manusia memiliki sifatnya masing-masing. Manusia juga memiliki metode atau prosesnya masing-masing. Kita tidak akan bisa memisahkan manusia dan sifatnya. Kita tidak bisa menghakimi dosen dengan mengatakan bahwa dosen tidak memiliki sifat manusia. Dosen juga manusia.

Mahasiswa X mendapatkan dosen A sebagai pembimbingnya. Seorang profesor pada bidangnya.

Ketika menulis skripsi mahasiswa X mengajukan tulisannya pada dosen A. Mahasiswa X hanya menulis kasus, lalu memberikan pendapat ahli (dari buku yang dia baca) untuk kasus tersebut.

Dosen A yang merupakan seorang prof itu tidak suka dengan apa yang ditulis oleh mahasiswa X. Dosen A mengatakan, "saya tidak suka kamu hanya menempel. Saya tahu kamu mampu menulis dengan lebih baik, kamu suka membaca. Jangan hanya seperti ini. Kasus 'ini', lalu kamu tempel pendapat ahli tentang 'ini'."

"Apakah saya boleh memberikan satu atau dua paragraf, Bapak?" Begitu mahasiswa X bertanya pada dosen A.

Lalu dosen A menjawab, "harus. Buat apa skripsi kalau cuma menempel seperti ini? Harus bisa kritis, X." Dosen A memberikan senyum dan rasa percayanya.

---

Pada proses menulis, dosen A sangat sibuk. Hanya sesekali memberikan bimbingan pada mahasiswa X.

Prosesnya menyerahkan satu bab, lalu menghabiskan satu bab itu dengan berdiskusi. Hanya berbeda pada bab 4 pembahasan, setiap sub-bab-nya dibahas satu kali pertemuan bimbingan. Begitu terjadi sampai selesai bab 5.

Skripsi mahasiswa X selesai. Ia mengajukan proses pengujian dan diterima oleh dosen A.

---

Pada saat sidang ia diuji oleh dosen A, B, dan C. Satu pembimbing sekaligus pengujinya, dua dosen murni pengujinya.

Pada dosen B dan C ia mengalami masalah. Tidak dengan keduanya, karena dosen B hanya memberikan umpan balik untuk beberapa hal yang memang bolong dan perlu diperbaiki. Sedangkan pada dosen C, ia ditentang sepenuhnya.

Pada saat pengujian, dosen C dengan tampak kesal dan tidak suka mengatakan, "Kamu kok bisa jalan sendiri seperti ini? kasus ini, lalu kamu sudah benar memberikan pendapat ahli tentang ini. Kamu itu siapa mas kok bisa memberikan penjabaran sendiri? Masih S1 kok bisa memberikan pengertian sendiri!"

Mahasiswa X hanya bisa terdiam. Kalimat itu menembus mentalnya yang lemah.

---

Mahasiswa X mempunyai teman mahasiswa Y. Ia menceritakan skripsinya yang mengecewakan baginya kepada mahasiswa Y. Ternyata, mahasiswa Y ini dibimbing oleh dosen C.

Y bercerita pada X, "dosen pembingku maunya begitu. Setiap kasus yang kamu temukan, kamu memberikan pendapat ahli untuk kasus itu ."

X menanyakan keanehannya, "jadi, skripsi kita bisa patah setiap kepaduan antarparagrafnya karena setiap kasus lalu pendapat ahli, lalu kasus lagi disusul pendapat ahli, dst,?"

"Ya, memang begitu X." Mahasiswa Y membeberkan curhatan dosen pembingnya. "O, berarti kamu yang dosen C ini bilang. Bisa-bisanya ada anak S1 seperti jalan sendiri (dalam istilah jawa, cul-culan ngadek dewe). Ya, X, seperti yang kamu bilang dan jelaskan pada proses skripsimu. Dosen C tidak suka dengan proses bimbingan Dosen A, alias pembimbingmu. Beliau bilang setiap mahasiswa yang dibimbing oleh Dosen A ini tulisannya seperti tidak layak uji. Tapi, beliau masih memiliki rasa sungkan pada Dosen A karena beliau seorang prof."

Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan mahasiswa X. Apa yang sedang dia rasakan?

Bingung.

Mahasiswa X ingin menjawab bahwa, "saya tidak melahirkan teori baru. Saya hanya mengelaborasi kalimat tanpa menambah atau mengurangi paparan dari ahli. Supaya ada kepaduan pada setiap paragraf yang saya susun." Tapi dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan atau menjawab itu.

Bukankah pembingnya Dosen A bilang kalau dia harus kritis. Lantas, mengapa pada setiap kritis yang masih pada jalannya. Diperkuat oleh pendapat ahli dan ia hanya memberikan elaborasi pada kalimat pendapat ahli begitu terlihat sangat hina dihadapan dosen C?

Bukankah Dosen A pembimbing sendiri mengatakan kalau dia harus kritis.

Proses yang ia lalui untuk menulis skripsi cukup lama ternyata hanya memberikan kesan "sok-sok an dihadapan Dosen C." Padahal, X selama mengerjakan atau diuji tidak pernah berniat untuk memiliki intensi itu.

---

Hal yang dapat kita ambil dari kisah itu adalah "bahwa kita tidak bisa memaksakan setiap proses yang dilakukan oleh manusia lainnya."

Jika saya ada pada posisi Mahasiswa X. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain, "manusia memiliki sifat dan cirinya sendiri. Setiap manusia memiliki perbedaan dengan manusia lainnya, tak terkecuali dosen."

Bukankah mahasiswa X telah mendapatkan pelajaran dari proses skripsinya?

Sudah.

Kadang, pelajaran tidak hanya didapat pada teks atau materi saja. Tapi, pengalaman itu juga ia dapatkan.

Proses skripsi itu memang seru, dan sebaiknya dinikmati saja.

Komentar

Postingan Populer